Nama : Ainun Muchlisatun
NIM : 1040101485
KIP/PKN
Tugas Study Masyarakat Indonesia
Indonesia adalah salah
satu negara yang memiliki suku dan budaya yang beraneka ragam. Masing-Masing
budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain
maupun kebudayaan yang berasal dari luarIndonesia. Salah satu kebudayaan
tersebut adalah kebudayaan Aceh. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga
menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari sisi
kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan
Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang
strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur
Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari
akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu
dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan
orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa
Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun
tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal
Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena
itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh
dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang
ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga inti
dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut
terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
A.
LETAK
Aceh
merupakan propinsi yang paling ujung letaknya di sebelah utara pulau Sumatra
dan memiliki luas 55.390 km2. Kelompok
etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini
merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa menyebut
dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah
sebesar 3.415.393 jiwa, dimana orang Aceh tentunya merupakan kelompok
mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang tersebar populasinya di
Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda
Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan
Aceh Barat. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang
terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh,
serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula sedikitnya tujuh sukubangsa
lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok
Cadek. Identitas bersama berdasarkan ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan
kesatuan suku-suku bangsa di propinsi ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa
jarang sekali penduduk asli Aceh menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang,
dan seterusnya. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh",
sehingga Aceh patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh
sejumlah sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing. Ciri-ciri ini pula yang
mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT
1. Mata Pencaharian
Mata
pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang, dengan tanaman
pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain. Masyarakat yang
bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan.
Sebagian
besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama yang
bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di Daerah
Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan
kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.
Mata
pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan berladang,
serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pantai. Di samping itu
ada yang melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya
dengan cara menjajakan barang dagangan dari kampung ke kampung
(penggaleh). Mata pencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan
adalah berkebun, terutama tanaman kopi.
Mata
pencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di
ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran
dari pohon bakau. Adapula
yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.
2. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah
keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah
bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa
waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pada
orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut
garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami
merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah
menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat di kediaman keluarga
pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian
beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah
(paroh masyarakat).
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya
Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip
bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal
dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan
yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari
kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang
disebut rumah tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai
kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama
adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami
belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau
matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga
inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu
beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga
disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah
(klen).
- Tahapan
melamar (Ba Ranup)
Ba Ranup merupakan
suatu tradisi turun temurun yang tidak asing lagi dilakukan dimana pun oleh
masyarakat Aceh, saat seorang pria melamar seorang perempuan. Untuk mencarikan
jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan
mengirim seorang yang dirasa bijak dalam berbicara (disebut theulangke) untuk
mengurusi perjodohan ini. Jika theulangke telah mendapatkan
gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia akan meninjau status sang gadis.
Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu.
Pada hari yang
telah disepakati datanglah rombongan orang-orang yang dituakan dari pihak pria
ke rumah orangtua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut
isinya (ranub kong haba). Setelah acara lamaran selesai, pihak pria akan
mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk
bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.
Bila lamaran
diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukeong
haba, yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk
menetapkan berapa besar uang mahar yang diterima (disebut jeunamee) dan berapa
banyak tamu yang akan diundang.
Bila lamaran
diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukeong haba
yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk
menetapkan berapa besar uang mahar yang diterima (disebut jeunamee) yang
diminta dan berapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini
sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba tanda). Pada acara ini,
pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat
kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan
perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria.
Pada acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus di tengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.
Seminggu menjelang akad nikah, masyarakat aceh secara bergotong
royong akan mempersiapkan acara pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan
membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan atau peralatan yang nantinya
dipakai pada saat upacara perkawinan. Adapun calon pengantin wanita sebelumnya
akan menjalani ritual perawatan tubuh dan wajah serta melakukan tradisi
pingitan. Selam masa persiapan ini pula, sang gadis akan dibimbing mengenai
cara hidup berumah tangga serta diingatkan agar tekun mengaji.
Selain itu akan dilaksanakan tradisi potong gigi (disebut koh
gigoe) yang bertujuan untuk meratakan gigi dengan cara dikikir. Agar gigi
sang calon pengantin terlihat kuat akan digunakan tempurung batok kelapa yang
dibakar lalu cairan hitam yang keluar dari batok tersebut ditempelkan pada
bagian gigi. Setelah itu calon pengantin melanjutkan dengan perawatan luluran
dan mandi uap.
Selain tradisi merawat tubuh, calon pengantin wanita akan
melakukan upacara kruet andam yaitu mengerit anak rambut atau bulu-bulu halus
yang tumbuh agar tampak lebih bersih lalu dilanjutkan dengan pemakaian daun
pacar (disebutboh gaca) yang akan menghiasi kedua tangan calon
pengantin. Daun pacar ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan
warna merah yang terlihat alami.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan mengadakan pengajian dan
khataman AlQuran oleh calon pengantin wanita yang selanjutnya disebut calon
dara baro .Sesudahnya, dengan pakaian khusus, Calondara Baroe mempersiapkan
dirinya untuk melakukan acara siraman (disebut seumano pucok) dan
didudukan pada sebuah tikar yaitu tikaduk meukasap.
Dalam acara ini akan terlihat beberapa orang ibu akan mengelilingi
Calon dara Baroe sambil menari-nari dan membawa syair yang
bertujuan untuk memberikan nasihat kepada Calon dara baroe. Pada
saat upacara siraman berlangsung, Calon dara Baroe akan
langsung disambut lalu dipangku oleh nye’wanya atau saudara perempuan dari
pihak orang tuanya. Kemudian satu persatu anggota keluarga yang dituakan akan
memberikan air siraman yang telah diberikan beberapa jenis bunga-bungaan
tertentu dan ditempatkan pada meundam atau wadah yang telah dilapisi dengan
kain warna berbeda-beda yang disesuaikan dengan silsilah keluarga.
Pada hari H yang telah ditentukan, akan dilakukan secara antar
linto (mengantar pengantin pria). Namun sebelum berangkat kerumah
keluarga Calon Dara Baroe, calon pengantin pria yang disebut
calon linto baro menyempatkan diri untuk terlebih dahulu meminta
ijin dan memohon doa restu pada orang tuanya. Setelah itu Calon Dara Baroe
disertai rombongan pergi untuk melaksanakan akad nikah sambil membawa mas kawin
yang diminta serta bingkisan yang diperuntukan bagi Calon Dara baroe
Sementara itu
sambil menunggu rombongan Calon Dara Baroe tiba hingga acara
ijab Kabul selesai dilakukan, Calon Dara Baro hanya
diperbolehkan menunggu di kamarnya. Selain itu juga hanya orangtua serta
kerabat dekat saja yang akan menerima rombongan Calon Dara Baroe.
Saat akad nikah berlangsung, ibu dari pengantin pria tidak diperkenankan hadir
tetapi dengan berubahnya waktu kebiasaan ini dihilangkan sehingga ibu pengantin
pria bisa hadir saat ijab kabul. Keberadaan sang ibu juga diharapkan saat
menghadiri acara jamuan besan yang akan diadakan oleh pihak keluarga wanita.
Setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga Calon Dara
Baroe akan menyerahkan jeulamee yaitu mas kawin
berupa sekapur sirih, seperangkat kain adat dan paun yakni uang emas kuno
seberat 100 gram. Setelah itu dilakukan acara menjamu besan dan seleung
bu linto/dara baro yakin acara suap-suapan di antara kedua pengantin.
Makna dari acara ini adalah agar keduanya dapat seiring sejalan ketika
menjalani biduk rumah tangga.
Sebagaimana
masyarakat suku bangsa lainnya di Indonesia, mereka juga menumbuhkembangkan
pakaian tradisional (adat) sebagai simbol jati dirinya. Salah satu diantaranya
adalah pakaian yang dikenakan oleh pengantin laki-laki (Peukayan Linto Baro)
dan pengantin perempuan (Peukayan Dara Baro) dalam upacara perkawinan,
dimana bagian-bagian dari kedua pakaian tersebut tidak hanya indah untuk
dilihat, tetapi juga makna simbolik dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
Yaitu dengan
melakukan upacara tepung tawar, memberi dan menerima restu dengan cara
memerciki pengantin dengan air yang keluar dari daun seunikeuk, akar
naleung sambo, maneekmano, on seukee pulut, on gaca dan lain
sebagainya minimal harus ada tiga yang pakai. Acara ini dilakukan oleh beberapa
orang yang dituakan (sesepuh) sekurangnya lima orang.
Tradisi ini
berasal dari India (agama Hindu) yang telah beradaptasi dengan agama Islam.
Dikalangan ureungchik (orang yang sudah tua dan sepuh) budaya
seperti ini merupakan tata cara adat yang mutlak dilaksanakan dalam upacara
perkawinan.
Mas kawin yang telah diberikan tidak akan hilang nbegitu saja ,
akan tetapi apabila kedua mempelai telah hidup bersama, maka mereka diberi
peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak
tanah sawah sesuai dengan kemampuan orang tua si gadis.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip
patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garis laki-laki. Adat
menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat
tinggal di lingkungan kerabat wanita. Mereka tinggal bersama-sama dengan
oramgtua istri sampai mereka diberi rumah sendiri. Selama masih bersama-sama
tinggal dengan mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah
tangga dan yang bertanggung jawab adalah mertua (ayah wanita)
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di
antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan,
golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan
keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa.
Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki,
dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan
bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan.
Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim
disebut Teungku atau Tengku.
Pada masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan
masyarakat, yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang dan
ulama, yang terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai lapisan menengah; dan
rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini sistem pelapisan sosial
tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam masyarakat. Yang kini dianggap
sebagai orang terpandang adalah orang kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan.
Pada
masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga lapisan
sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake. Golongan
pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang menggunakan gelar Tengku
untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan; golongan kedua adalah orangÂorang
yang memperoleh hak dan kekuasaan tertentu dari raja, yang memperoleh gelar
Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Bentuk
kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang
dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah
meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari
beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu
para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap
gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah,
teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Pada masa lalu Tanah Alas
terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin oleh dua orang kejerun, yaitu
daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah Kejerun Bambel. Kejerun dibantu oleh
seorang wakil yang disebut Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut
Raje Berempat. Setiap unsur pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung
atau desa (Kute), sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang
Pengulu. Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa
klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap
kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut
kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa
unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari : reje, petue, imeum,
dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari
kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik,
imeum, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
D. RELIGI
Aceh termasuk salah satu
daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini
dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu
gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama
tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu
saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan
berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi
tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan
tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
E. BAHASA
Bahasa yang digunakan orang
Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa
dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.
Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa
sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa
dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian
orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.
Dilihat dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal
dari bahasa Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh.
Penggunaan bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain
dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan.
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa
Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi lagi
menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi
sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.
Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang
kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan,
bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa
Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya kata "orang"
dibaca menjadi oghang. Sementara
itu huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".
F. KESENIAN
Corak kesenian Aceh memang
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan
dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni
tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati
tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang
banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara,
perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk
hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang
berasimilasi.. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan
ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal
kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo
adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung
berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman dan seni
teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk
kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai
sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di
samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni
berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa
G. PERALATAN
Persenjataan
Orang
Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan
bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras
pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut
umumnya dibuat sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar