Nanam : Syariful Anam
NIM : 1040101487
KEBUDAYAAN JAWA
IDENTIFIKASI
Daerah kebudayaan jawa sangat luas yaitu meliputi seluruh
bagian tengah dan timur dari pulau jawa. Meski demikian ada daerah-daerah yang
secara kolektif sering disebut daerah kejawen. Sebelum terjadi
perubahan-perubahan seperti sekarang ini, daerah itu merupakan Banyumas, Kedu,
Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah diluar itu dinamakan
pesisir dan ujung timur.
Seluruh rangka kebudayaan jawa itu terpusat pada bekas kerajaan
mataram yang terpecah pada tahun 1755 yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Karena
luasnya daerah kebudayaan jawa tentunya banyak sekali perbedaan-perbedaan yang
bersifat lokal yang meliputi beberapa unsur-unsur kebudayaan, seperti perberdaan
istilah teknis, dialek, bahasa dan lainnya. Meski terdapat banyak
variasi-variasi dan perbedaan-perbedaan tersebut tidaklah besar dan masih
menunjukkan satu kesatuan pola ataupun satu sistem kebudayaan jawa.
Dalam pergaulan sehari-hari mereka menggunakan bahasa jawa. Dalam mengucapakan bahasa jawa
ini seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan orang yang diajak bicara
atau yang sedang dibicarakan, derdasarkan usia maupun setatus sosial, pada
perinsipnya ada dua macam bahasa jawa yang apabila ditinjau dari kriteria
tingkatannya, yaitu bahasa jawa ngoko dan krama.
Bahasa jawa ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal
akrab dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajatnya
atau setatus sosialnya. Lebih khusus lagi ada bahasa ngoko lugu dan ngoko
andap. Sebaliknya bahasa krama, dipergunakan untuk bicara dengan orang yang
belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga
terhadap orang yang lebih tinggi umur serta setatus sosialnya. Dari kedua derajat
bahasa ini terdapat kombinasi dan variasi antara bahasa jawa ngoko dan krama.
Yang pemakaiannya disesuaikan dengan keadaan perbedaan usia, derajat sosial dan
sebagainya. Misalnya ada bahasa madya ngoko yang terdiri dari tiga macam bahasa
yaitu madya ngoko, madya antara dan madya krama. Ada bahasa krama inggil yang
terdiri kira-kira 300 kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota
badan, aktifitas, benda milik, sifat-sifat dan emosi-emosi dari orang-orang
yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat sosialnya. Bahasa kedaton (bahasa
bagongan) yang khusus dipergunakan untuk kalangan istana; bahasa jawa krama
desa atau bahasa orang-orang di desa-desa. Dan bahasa jawa kasar yaitu salah
satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam
keadaan marah atau mengumpat seseorang.
BENTUK DESA
Desa adalah tempat kediaman yang tetap pada masyarakat orang
jawa. Di daerah pedalaman, desa adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus
menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara administrative
desa langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah kecamatan dan terdiri dari
dukuh-dukuh. Tiap-tiap wilayah bagian desa ini diketuai oleh seorang dukuh.
SUMBER PENCAHARIAN
Sumber pencaharian penduduk jawa berasal dari
pekerjaan-pekerjaan kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan. Bertani adalah
juga merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar penduduk
jawa di desa-desa
SISTEM KEKERABATAN
Prinsip kekerabatan orang jawa itu berdasarkan prinsip
keturunan bilateral. Sedangkan istilah kekerabatannya menunjukkan klasifikasi menurut
angkatan-angkatan.semua kakak laki-laki serta kaka wanita ayah dan ibu, beserta
istri-istri maupun suami-suami masing-masing diklasifikasikan menjadi satu
dengan satu istilah siwa atau uwa. Adapun adik-adik dari ayah dan ibu
diklasifikasikan kedalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin
menjadi paman bagi para adik laki-laki dan bibik bagi para adik wanita.
Dalam masyarakat jawa perkawinan yang dilarang antara lain;
dua orang tidak boleh saling kawin apabila mereka saudara kandung; apabila
mereka itu pancer lanang yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki;
apabila mereka itu adalah misan; dan apabila pihak laki-laki lebih muda menurut
ibunya daripada pihak wanita. adapun pekawinan antara dua orang yang tidak
terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut diatas
diperkenankan. Macam-macam perkawinan lain yang diperbolehkan antara lain
ngarang wulu serta wayuh. Perkawinan ngarang wuluh adalah suatu perkawinan
seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya.
Adapun wayuh ialah suatu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami)
Serangkaian upacara-upacara dalam perkawinan adat jawa.
Nakokake yaitu Seorang peria yang ingin menikahi gadis kekasih hatinya, pertama
harus datang kerumah sigadis untuk menanyakan kepadanya, apakah si gadis masih
legan atau uda ada yang punya. Dan pada waktu nakokake ini si pria
didampingi orang tuanya atau wakil orang tuanya. Dalam keadaan prosesi ini
apabila si pria dan wanita belum saling kenal maka ada yang namanya Nontoni
yakni si calon suami diberi kesempatan untu untuk melihat calon istrinya.
Apabila mendapat jawaban positif dari si gadis (diterima) maka ditetapkan kapan
akan dilaksanakan pinengsetan.
Pinengsetan adalah upacara pemberian sejumlah harta dari si laki-laki
calon suami kepada kerabat sigadis yaitu orang tua walinya. Biasanya berupa
sepasang pakaian wanita dalam hal ini adalah sepotong kain dan kebaya yang
biasa disebut dengan pakaian sakpengadek. Ada juga yang disertakan
dengan cincin kawin. Dengan itu si gadis sudah terikat untuk melangsungkan
perkawinan atau wis dipacangake.
Sebelum upacara Peningsetan, terlebih dahulu diadakan
perundingan untuk menentukan tanggal bulan perkawinan. Dalam perundingan ini
dilakukan perhitungan weton, yaitu perhitungan hari kelahiran kedua
calon pengantin, berdasarkan kombinasi sistem perhitungan tanggal masehi dengan
perhitugan tanggal Sepasaran (minggu orang jawa).
Dua atau tiga hari sebelum upacara pertemuan kedua pengantin
diselenggarakan upacara Asok-Tukon. Upacara ini merupakan pemyerahan
harta kekayaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan secara simbolik. Yang
diserahkan kepada orang tua wali calon pengantin wanita yang disaksikan oleh
kerabat-kerabatnya, Asok-Tukon atau yang disebut juga dengan Sasrahan
itu merupakan tanda maskawin.
Sehari saat upacara perkawinan, pada pagi hari beberapa
kerabat anggota keluarga wanita berkunjung ke makam leluhurnya untuk meminta
doa restu. Sedangkan sore harinya diadakan upacara selamatan Berkahan
yang dilanjutkan dengan acara Leklekan dimana para kerabat pengentin
wanita serta tetangga dekat serta kenalan-kenalannya berjaga dirumahnya hingga
jauh malah, bahkan sampe pagi hari. Malam menjelang hari perkawinan ini
dinamakan malam tirakatan atau malam midadareni. Disebut malam midadareni
ini dikarenakan ada kepercayaan bahwa pada malam ini para bidadari turun dari
kayangan dan memberi restu kepada perkawinan tersebut.
Waktu hari perkawinan pengantin laki-laki dengan diiringi
oleh orang tua atau walinya dan juga handai tolannya(kawan kerabatnya)
serta para tetangga sedukuh pergi kekeluarga pengantin perempuan untuk
melangsungka Ijab Kabul atau akad nikah. Upacara ini disaksikan oleh wali dari
kedua belah pihak. Kemudian setelah upacara ini berakhir lalu dilakukan upacara
pertemuan (temon) antara kedua mempelai yang akhirnya dipersandingkan di
atas pelaminan. Apabila mempelai laki-laki hendak membawa istrinya, hal ini
dapat dilaksanakan sesudah sepasar atau lima hari sejak mereka
dipertemukan. Pemboyongan yang disertai pesta lagi ditempat kediaman mempelai
laki-laki ini disebit ngunduh temanten.
Selain sistem perkawinan melalui cara pelamaran dikalangan orang jawa juga dikenal sistem
perkawinan magang atau ngenger, yaitu seorang jejaka yang telah mengabdikan
dirinya pada kerabat si gadis; sistem perkawinan triman, yaitu seorang
yang mendapatkan istri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu
lingkungan keluarga tertentu seperti keluarga kraton atau keluarga priyayi
agung; sistem perkawinan ngunggah-ngunggahi dimana justru pihak kerabat
si perempuan yang melamar si jejaka; sistem perkawinan paksa (peksan)
yaitu perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita atas kemauan kedua
orang tua mereka. Pada umumnya perkawinan semacam ini banyak terjadi dalam
perawinan anak-anak atau perkawinan di masa lalu.
Adakalanya bahwa suatu perkawinan itu tidak berhasil
memberikan kebahagiaan hidup kepada kepada suaimi istri, sehingga satu-satunya
jalan yang diambil adalah cerai (pegatan). Hal ini perceraian hanya bisa
dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, dan jika si istri tidak dalam
keadaan hamil di hadapan pengulu. Suami dapat menceraikan istrinya dengan
menjatuhkan talak, dan sebaliknya istripun berhak meminta cerai, yaitu dengan
memberikan taklik. Namun kadang-kadang terjadi bahwa sekalipun istri meminta
cerai karena suami tak mampu lagi memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya,
tetapi toh tidak bersedia menjatuhkan talaknya. dalam keadaan seperti ini istri
dapat mengadu kepada kaum, yang akan meneruskan pengaduan itu ke kantor urusan
agama kecamatan. Akhirnya kantor urusan agama yang akan memberikan keputusan.
Pengaduan gugatan bercerai dari seorang istri melalui perantaraan saluran
instansi-instansi agama yang resmi secara bertingkat-tingkat itu dinamakan rapak.
Setelah bercerai tidak jarang merekai memutuskan untuk hidup
rukun kembali. Suatu perukunan kembali yang dilakukan sebelum melebihi jangka
waktu seratus hari, disebut rujuk. Apabila itu dijalankan melebihi batas
waktu tersebut, namanya balen. Baik rujuk atau balen hanya
bisa dilakukan sesudah talak sampe tiga kali. Kalau sudah mencapai talak
sebanyak ini (tiga kali) maka suami istri harus bercerai untuk selama-lamanya.
Dalam hal ini seorang janda baru boleh bergaul dengan laki-laki lain, setelah
ia lewat masa idahnya, yaitu suatu jangka waktu yang lamanya tiga bulan sepuluh
hari atau sama dengan tiga kali lingkaran haid. Maksudnya adalah agar dapat
diketahui bahwa benar-benar orang wanita yang cerai tidak dalam keadaan hamil,
sebab kalau ia kawin sebelum masa iddahnya lampau, maka anak yang dilahirkan
itu menjadi tanggung jawab suami yang terdahulu.
Keluarga-batih dijawa dinamakan dengan kulawarga. Keluarga
dalam masyarakat jawa merupakan suatu kelompok sosial yang berdiri sendiri,
serta memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang menjadi
anggotanya. Adapun seorang kepada keluarga disebut kepala somah. Ia bisa
seorang laki-laki, tetapi bisa juga seorang perempuan, yaitu apabila si suami
meninggal dunia, bila ibu tidak ada lagi, maka diangkat lagi seorang kepala
somah baru dari salah seorang anak atas persetujuan yang lainnya. Hal ini lebih
diutamakan anak laki-laki tertua. Bentuk dari kulawarga sempurna terdiri dari
suami, istri dan anak-anak.
Di jawa juga ada keluarga yang lebih luas, yakni
pengelompokan dari dua-tiga keluarga atau lebih dalam satu tempat tinggal,
meskipun mereka tinggal bersama, namun masing-masing mewujudkan kelompok sosial
yang berdiri sendiri-sendiri, baik dalam anggaran rumah tangga maupun dapurnya.
Walau demikian tidak semua keluarga luas mempunya tempat memasak atau pawon
sendiri-sendiri, sehingga ada yang bersama-sama. Harus diperhatikan bahwa satu
keluarga luas tetap dikepalai oleh satu kepala somah yang terdahulu. Suatu
keluarga luas biasa terjadi adanya perkawinan antara seorang anak laki-laki
ataupun wanita, yang kemudian tinggal menetap dalam rumah orang tua. Bila
kepala somah meninggal dunia, maka ia diganti oleh salah seorang dari keluarga
yang pertama, juga kalau anggota ini tidak ada, barulah salah satu keluarga
yang mondok tadi menggantikannya atas permufakatan anggota-anggota lainnya.
Peranan kepala somah disini hanya tampak dalam soal-soal
urusan keluarga. Tentu saja usaha yang bertalian dengan hubungan keluarga dan
urusan kedalam seperti pendidikan anak-anak, pengaturan anggaran belanja
keluarga, serta usaha mencari sumber hidup tetap berada ditangan masingmasing
keluarga. Sama halnya dengan keluarga, maka keluarga luaspun ada yang sempurna
ada yang tidak sempurna.
Satu bentuk kelompok kekerabatan yang lain adalah sanak
sadulur. Kelompok kekerabatan ini, terdiri dari orang-orang kerabat
keturunan dari seorang nenek moyang sampe derajat ketiga. Biasanya kelompok
kekerabatan ini saling bantu membantu kalau ada peristiwa-peristiwa penting dalam
rangka kehidupan keluarga. Misalnya pada pertemuan-pertemuan, upacara-upacara
yang diadakan berhubung pada tingkat-tingkat sekitar lingkungan hidupnya salah
seorang anggota kerabat, perayaan pada hari ulang tahun, upacara kematian,dan
pemakaman serta selamatan-selamatan pada hari ke-7, ke-100, dan ke-1000 sesudah
kematian. Kecuali itu mereka juga akan berkumpul pada hari lebarang (riyadi)
dan hari besar islam (suran). Di dalam kenyataannya kelompok kekerabatan
kindred ini di masing-masing orang jawa di desa, hanya terdiri dari mereka yang
tinggal di desa, seperti saudara sepupu, paman-paman, bibi-bibi, baik dari ipar
ayah maupun ibudan kerabat-kerabat dekat istrinya.
Disamping itu ada juga kelompok kekerabatan yang disebut alur
waris. Kelompok ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunansejauh masih
dikenal tempat tinggalnya. Adapun tugas terpenting dari para anggota alurwaris ialah
merawat makam leluhur. Biasanya salah seorang dari warga alurwaris yang tinggal
di desa dimana terletak makam leluhur, ditunjuk untuk menghubungi anggota
alurwaris lain yang telah tersebar kemana-mana guna bersama-sama ikut merawat,
atau menyumbang untuk perawatan makam nenek moyang itu.
Pada umumnya orang jawa tidak mempersoalkan tentang tempat
menetap seseorang setelah ia kawin, sehingga seseorang itu bebas untuk
menentukan apakah ia hendak menetap di sekitar kediaman kerabat istrinya,
ataukah di tempat tinggal yang baru, terpisah dari kerabat kedua belah pihak.
Maka dikatakan bahwa di desa-desa jawa adat menetap setelah nikah itu bersifat
utrolokal. Suatu hal yang umum ialah bahwa seseorang akan merasa bagga dan
berbahagia apabiala ia mempunyai tempat tinggal sendiri, terlepas dari
tempat-tempat menetap kerabat masing-masing pihak, baik dari kerabat istri
maupun dari kerabat suami.
Dalam pembagian warisan, dipakai dua cara, yaitu cara
perdamaian dan cara sepikul segendongan. Pembagian warisan menurut cara
perdamaian adalah sebenarnya suatu permusyawaratan di antara para ahli waris
yang terdiri dari anak-anak dan anggota-anggota kerabat kedua belah pihak orang
tua, di mana akan ditentukan siapakah yang berhak dan wajib memperoleh bagian
yang lebih ataupun sama dari lain-lainnya. Cara demkian ini terutama
dipergunakan pada pembagian warisan rumah, prabotan rumah, benda pusaka dan
ternak. Maksud dari penggunaan cara perdamaian ini, adalah agar dicapai keadaan
sejahtera bagi semua anggota keluarga-batih. Artinya apabila ada salah seorang
anggota yang sudah memiliki harta-harta itu sendiri, maka tidaklah perlu
anggota tersebut mendapat bagian, yang dapat diberikan kepada
saudara-saudaranya yang belum mempunyai apa-apa sama sekali. Orang tua akan
lebih condong untuk memberikan rumah kediamannya yang pokok kepada tabon, yaitu
seorang anak alki-laki atau perempuan, yang tetap tinggal dirumah bersama
sengan orang tua dan menjamin hidup hari tua dari orang tua tersebut. Adapun
pemeliharaan benda pusaka biasanya dibebankan kepada anak laki-laki tertua,
sedangkan ternak dibagikan sama sesuai dengan jumlah yang ada.
Pembagian waris menurut cara ke dua, yaitu sepikul
segendongandipergunakan pada pembagian warisan tanah pekarangan dengan
pohon-pohon di atasnya sekalian, dan tanah pertanian Terutama sawah. Menurut
cara pembagian ini anak laki-laki mendapat 2/3 sedangkan anak perempuan mendapatkan
1/3 dari seluruh jumlah warisan orang tua. Untuk memperkuat hak dan kewajiban
terhadap peninggalan harta benda milik orang tua ini, masing-masing yang
berkepentingan dapat meminta penyaksian kepala desa atau anggota-anggta pamong
desa lainnya. Teristimewa dalam soal pembagian warisan tanah pekaranagan dan
tanah-tnah persawahan suatu keluarga wajib memberikan laporan kepada
pejabat-pejabat desa tadi agar bisa diketahui jumlah keseluruhannya. Hal itu
perlu untuk menentukan pembayaran pajaknya. Surat tanda pembayaran pajak atau
yang biasa disebut kohir itu, dipegang oleh salah seorang diantara ahli waris
yang paling tua. Pada surat itu tercantum juga semua luas tanah-tanah warisan
tersebut secara kolektif. Tiap-tiap ahli waris dapat pula meminta surat kohir
untuk masing-masing bagian warisannya sendiri, supaya dapat mempermudah dalam
membayar pajak secara langsung.
Perlu diketahui bahwa sawah yang dapat diwariskan adalah
sawah sanggan yaitu sawah milik pribadi. Menurut macamnya ada tiga. Pertama
ialah sawah gantungan, atau sawah bagian warisan dari seseorang yang pergi
meninggalkan sawah tadi. Sehingga harus dipelihara dan digarap serta ditanami
oleh salah seorang saudara nya sendiri, tetapi setelah ia datang hak dan
kewajiban tanah-tanah pertanian itu kembali kepadanya. Selanjutnya ada yang
disebut tanah dunungan. Sawah dunungan sesungguhnya belum terjadi harta
warisan. Hanya saa sudah ditunjukkan oleh orang tua kepada siapa sawah sawah
itu akan diberikan. Biasanya anak yang usianya lebih tua akan mendapat bagian
sawah yang terletak di sebelah barat. Dan anak yang lebih muda diberikan sawah
yang terletak disebelah timur. Akhirnya ada yag dinamakan sawah garapan. Sawah
ini juga belum menjadi benda warisan tetapi sudah diberikan ijin dari orang tua
untuk digarap oleh anak-anak atau menantu laki-lakinya sebagai jaminan hidup
hari tuanya. Kelak setelah orang tua meninggal duniamaka tanah tersebut menjadi
warisan bagi penggarapnya.
Suatu hal yang perlu dibedakan adalah harta benda milik suami
istri senditri sebelum kawin (benda gawan), dengan harta kekayaan yang
diperoleh mereka berdua selama hidupnya bersama (banda gana gini). Kedua-duanya
kelak menjadi barang warisan. Didalam pembagian bisa menurut cara hukum adat
yang berlaku (sepikul segendongan). Atau mengikuti cara permusyawaratan
(perdamaian), dimana semua pihak, baik orang laki-laki maupun orang wanita
mendapat bagian sama banyaknya. Sebagai barang warisan, banda gawan kembali
kepada kerabat masing-masing apabila suami istri itu tidak mempunyai anak,
sedang banda gana gini baru dipersoalkan pembagiannya jika kedua orang tersebut
bercerai, yaitu banda gana dibagikan untuk suami dan banda gini diberikan
kepada isteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar